This blog has contain data and facts on my self in my spiritual experiences, a few of certain self interpretation, and single historiograph. Built by 2 untill 3 languages those I in learning of it all.
Secara logika hukmiyyah, tiada hutang tanpa adanya akad muamalah.
Setiap pemberian dari satu pihak kepada pihak lain, apabila tiada akadnya, maka bagi Pihak Penerima: bukanlah merupakan suatu status Pos Hutang, dan bagi Pihak Pemberi: bukanlah suatu Pos Piutang.
Pos Hutang muncul, dapat disebabkan salahsatu di antara 2 (dua) penyebab:
1. Hutang Sebab Pinjam Meminjam.
2. Hutang Sebab Jual Beli Bukan Secara Tunai [al Baqoroh ayat 282 - 283].
Hutang, diidéntikan pula sebagai 'Krédit', dari sisi yang berhutang [biasanya dalam kontéks yang ke-1 di atas, tadi: Pinjam Meminjam]. Dengan demikian, kalau pernyataan: 'aku punya krédit', artinya: 'aku punya hutang' [yang jelas akad muamalahnya, bukan yang ghoror/bukan jelas]. Sedangkan dari sisi yang menghutangkan [dalam kontéks Pinjam - Meminjam] diidéntikkan sebagai 'Débit'. Perbankan umumnya menyebut peminjam [yang berhutang kepada pihaknya] sebagai 'débitur' ("debitoor").
Dengan demikian, kalau dinyatakan: 'aku punya débit', berarti pula sebagai: 'aku punya piutang' [piutang = tagihan di luar, pihak yang ditagihnya disebut 'débitur'].
Ini sewajarnya berlaku pula dalam Hutang Dagang [hutang yang muncul sebab Akad Jual - Beli/bukan Akad Pinjam - Meminjam].
Demi kian, adalah hutang - piutang di antara Para Pelaku Muamalah.
Pembedahan terhadap hal ini, penulis pikir sangat diperlukan, sehubungan sebagai manusia yang mempunyai hati nurani, terkadang kita mengira mempunyai hutang kepada satu bahkan kepada banyak pihak, yangmana pihak - pihak tersebut telah pernah berbuat baik terhadap kita, pada masa lalu ataupun pada saat ini.
Padahal, tiada akad pinjam meminjam di antara para pelaku [yang memberi dan yang menerima], ataupun akad jual - beli secara bukan kés [kontan, secara alat pembayaran yang dianggap tunai di kalangan suatu komunitas masyarakat/negara].
yundayustria@gmail.com
|.
Sebagai konsép, istilah 'Hutang Budi', sebenarnya adalah suatu hal yang ghoror. Islam menegaskan perbédaan antara riba dengan budi baik/berbuat baik kepada Orang Tua [terjemahan al Baqoroh ayat 275, 276, 278, dan 279, berseling dengan ayat 277]. Berbuat baik kepada Orang Tua, hakékatnya adalah bersyukur kepada Alloh [bukan menyembah Orang Tua].
Dan penyusun al Qur`aanul Kariym menyelipkan ayat 277 (mengenai berbuat baik jenis tersebut) justru di tengah - tengah pembahasan mengenai riba [275, 276, 278, dan 279]. Dalam hal inilah penulis mulai memahami bahwa: kalau mau berbuat baik kepada Orang Tua, seharusnyalah tanpa ada riba [iming - iming, pamrih], baik sebagai sisi menempatkan diri bagai 'débitur' (seolah - olah ASI [Air Susu Ibu] yang pernah dikonsumsi oléh anak - anaknya, adalah dibeli secara bukan tunai [al Baqoroh ayat 282] oléh anak - anak tersebut saat masih bayi, sehingga terus - menerus merasa 'masih' berhutang kepada Orang Tua, pada hal tiada akad jual beli secara krédit di alam Roh/alam Rohiym di antara Roh Calon orang Tua dengan Roh Calon Anaknya, melainkan Akad Perjanjian Tauhid di antara setiap Roh Calon Manusia, dengan Alloh yang dipertuhannya [terjemahan al Arof 92? ]》
). Adapun dalam kontéks 'rumasa' (Bahasa Sunda), dari seorang anak terhadap jasa - jasa baik dan pemberian dari Para Orang Tuanya, jangan sampai menjebak pemikiran fiqhnya bahwa itu semua adalah berstatus sebagai Pos Hutang bagi akunnya, sehingga menghalanginya guna menyebarkan biji kebaikan - kebaikan yang telah ditanamkan oléh Orang Tuanya kepadanya itu [terjemahan al_Baqoroh ayat 261],
kepada pihak - pihak lainnya, agar satu biji yang menumbuhkan 7 tangkai [lathiyfah - lathiyfah dalam Tarékat],
yang masing - masing tangkai menumbuhkan 100 biji [kebaikan dari 99 Nama - Nama yang Baik dari 1 Alloh 》asmaul`Husna],
dari akarnya menjelma menjadi batang - batang yang kuat,
Tapi sebelum dimampukan mendirikan sholat, secara syariat, diperlukan dasar - dasar hakékat yang kuat tadi, sebagaimana dalam Surot al_Ankaabut ayat ke-45:
Dengan demi kian, apabila 'dimuamalahkan', maka 'hutang' terutama, dan terbesar bobotnya, sesungguhnya adalah 'hutang' dzikir kepada Alloh.
Itulah kenapa Ahli Tauhid mempedomankan perkataan yang baik, yang dimaksud dalam Qur`aan Surot Ibroohiym ayat ke-24, sebagai dasar penting sebelum ayat ke-40 [mengenai dimampukannya sholat, yang tentunya setelah dimampukannya mengingat Alloh dalam kalimat thoyyibah].
Nampak 'keras'_nya fikih Islam, apabila ditinjau dari 'dalam' begini, penulis pikir: justru sangat - sangat lembut, bukti bismillaahirrohmaanirrohiym yang se_ring kita ucapkan itu mémang nyata.
Betul?.
Akad pembayaran iuran di sekolah - sekolah formal,
ataupun transaksi jasa pembimbingan, seperti antara Para Ustadz/Ustadzah dengan Para Murid privat/madrosah,
adalah contoh bentuk transaksi muamalah yang dapat membébaskan perasaan bathin Para Murid dari merasa terbebani 'Hutang Budi'/ilmu dan pengetauan - pengetauan yang didapatkannya dari Para Gurunya.
Demikian pula kiranya dengan séktor jasa lainnya, seperti konsultasi kejiwaan/masalah - masalah yang memerlukan keahlian dari Konsultan Tertentu/Khusus,
ataupun atas formulasi resép obat yang diberikan oléh Sang Konsultan/Praktisi Keahlian,
apabila dilakukan secara adanya akad muamalah di antara pengguna/pengontrak skil, dengan yang mempunyai keahlian tersebut, maka akan dapat membébaskan diri dari gejala bathin merasa berhutang, sehubungan telah adanya akad
Comments
Post a Comment