Indra Purwita

Guru penulis ini, Indra Purwita, ialah orang yang seringkali menekankan agar segala apa yang penulis katakan, penulis ceritakan, adalah hal-hal yang mèmang telah benar penulis alami, bukan hanya 'katanya'. Sungguh, perkara ini bukannya mudah; nafsu-nafsu yang belum teratur kadang-kadang mendominasi kecenderungan guna meluputkan secara sengaja suatu hakèkat kejujuran dalam bersikap.

Sejak mendapatkan beberapa kali wejangan serupa tadi, penulis mulai membiasakan diri menceritakan, ataupun memberikan keterangan-keterangan sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang penulis alami dan lagi penulis pahami.

Selebihnya, sintètis-sintètis maupun beberapa simpulan yang dapat penulis hasilkan, ternyata mèmang jadi lebih memuaskan daripada masa-masa sebelumnya.

Ketika dan selama mempraktèkkan hal tadi, terasa berbèda, baik èfèknya terhadap diri maupun terhadap lingkungan sekitarku di manapun penulis lagi berada. Kepahaman akan hakèkat suatu masalah, serta makna-makna tersirat lainnya, menjadi dapat penulis ketahui melalui mèkanismeu yang justru menjadi begitu rasional, meskipun pada awalnya nampak seperti tiada tersentuh olèh logika. Masalahnya ternyata terletak pada nafsu-nafsu diri penulis. Itu menjadi hijab antara logika lama penulis dengan kebenaran hakèkat.

Alat guna mendapatkan kemudahan dalam banyak kara kesulitan yang penulis hadapi, penulis usahakan selalu mengingat dan melaksanakan petuahnya agar penulis tiada melupakan dzikir, yang mana mètodeunya diajarkan olèh para Guru Tarèkat yang dijalankan olèh Om Indra, beliau-beliau ialah: K.H. Noor Anom Mubarok, dan K.H. Ahmad Shohibul Wafa Ta`jul `Arifin, yang terkenal dengan julukan: 'Abah Anom'.

Tarèkat yang diajarkan olèh Abah Anom dikenal sebagai Tarèkat Qaadiriyyah wa Naqsyabandiyyah ataupun dalam literasi secara pelafalan disebut juga sebagai: 'Thoriqoh Qoodiriyyah wa Naqsyabandiyyah', dan guna kepraktisan, banyak juga yang melafalkannya sebagai: 'Toriqoh Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah', ataupun: 'Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah', yang disingkat sebagai: 'TQN'.

Banyak cerita bernuansa mistik yang penulis dengar dari sahabat penulis yang lebih dahulu mengenali tarèkat ini. Dia ialah Radèn Maulana Iqbal, yang mana kedekatan penulis dengannya adalah berkat diperkenalkannya penulis olèh Ichsan Nugraha, sahabat kami bersama. Adapun Rd.Maulana Iqbal, atau yang olèh para sahabatnya akrab dipanggil: 'Ibang', ataupun: 'Bangkong', ialah keponakan Om Indra Purwita.

Ibang, sempat menjalani beberapa kali prosès dan prosedur rèhabilitasi atas kara yang lagi dihadapinya bekaitan dengan kondisi fisik dan psikisnya apabila lagi mengalami gejala adiktif narkotika, di salahsatu Inabah. Inabah yang penulis maksud dalam hal ini yaitu suatu institusi penanganan psikis dan mèdis yang nerupakan afiliasi dari Pondok Pesantrèn Suryalaya, melalui lembaga hukum Yayasan Serba Bhakti, yang secara hukum berkedudukan sama dengan gèografisnya, yaitu terletak di Kabupatèn Tasikmalaya, Kecamatan Pager Ageung. Pengalaman Ibang dan prolog-prolog dari Om Indra mengenai ajaran tarèkat, khususnya Tarèkat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah ini menambah ketertarikan penulis guna mempelajarinya.

Lama sebelum Ibang menjalani prosès rèhabilitasi di Inabah, ketika penulis dan Ibang berusia remaja, sekitar 13 tahun, Om Indra memperkenalkan istilah-istilah: tarèkat dan tashowuf. Penulis sering meminta waktu kepada beliau guna menjelaskan berbagai hal mengenai ajaran ini. Om Indra jarang mengemukakan tèori-tèori mengenai ajaran spiritual ini, namun sering mengajak penulis berlogika, dan yang lebih ditekankan olèhnya adalah pengamalan.

Pada usia 16 tahun penulis meminta agar mendapatkan talqin dari ahlinya tarèkat yang dijalankan olèh Om Indra. Namun saat itu penulis belum mendapatkan izin guna mendapatkan talqin, olèh sebab usia penulis pada saat itu belum genap mencapai 18 tahun, sementara secara prosedurnya yang bisa memperolèh talqin ialah merèka-merèka yang telah berusia minimal 18 tahun, dan ke atas. Dan beberapa waktu setelah penulis berulang tahun Masèhi yang ke-delapan_belas, barulah Om Indra bersedia guna merèkomèndasikan penulis agar mendapatkan talqin tarèkat ini dari ahlinya yang berhak guna menalqin. Abah Anom mempunyai beberapa orang wakil talqin, dan satu orang di antaranya ialah Pa Noor Anom (Pa 'Nur' Anom), atau yang secara formal ditulis: 'K.H. Noor Anom Mubarok', yang mana beliau ialah guru yang terdekat bagi Om Indra dan Ibang, sekaligus merupakan adik Patrilinèal Abah Anom. Maka dengan dirèkomèndasikan olèh Om Indra dan Maulana Iqbal, penulispun mendapatkan talqin pertamakalinya dari Pa Noor Anom, di Jalan Bogo, Kota Bandung, tahun 1998.

Ketika penulis belajar di UPI/IKIP Bandung, penulis berkenalan dengan beberapa konsèp yang menunjang pengertian-pengertian mengenai hal tasawuf. Beberapa buku mengenai tasawuf, yang kajiannya dalam ranah intèlèktual, penulis baca. Namun, setiap kali penulis mempertemukan pengetahuan-pengetahuan terstruktur yang didapatkan olèh penulis dari hasil membaca buku-buku tèks mengenai hal tersebut, Om Indra selalu mengarahkan kembali orièntasi penulis kepada amalan-amalan yang dilakukan, bukan kepada sejumlah tèoritis, terutama agar penulis mengamalkan tips utamanya, yaitu: dzikir.

Namun tuntutan dunia akademik membuat penulis belum mampu mengamalkannya secara langsung tanpa melalui laku prosedur-prosedur keilmiahan sebagaimana yang berlaku di kalangan masyarakat akademik saat itu. Dengan demikian, guna memperkuat suatu keyakinan sebagaimana yang dimaksud olèh Om Indra, penulis harus dapat belajar membuktikannya dalam berbagai dimènsi yang objèktif, alias dapat dipahami juga olèh pihak-pihak lain di luar diri penulis sendiri. Ini mèmang sangat cocok dengan kaidah-kaidah kesejarahan, yang mana pada saat itu penulis lagi belajar dalam Jurusan Pendidikan Sejarah. Dan beberapa buku karya para penulis hèbat yang merupakan hasil penelitian penelitian merèka mulai penulis cari dan membaca beberapa hal pentingnya guna konsumsi intelèktual penulis.

Setelah itu, tetap saja kembali kepada petuah Om Indra: 'amalkan'. Mèmang sangat benar bahwa sejumlah ilmu yang lagi diamanatkan kepada kita tiada akan mempunyai nilai gunanya apabila tanpa pengamalan. Namun pada kenyataannya, ya, begitulah, seringkali penulis hanya sibuk berkutat dengan penelusuran ilmu-ilmu maupun pengetahuan-pengetahuan yang mana mèmang pada umumnya setiap manusia pembelajar memerlukan hal termaksud, agar tiada taklid, melainkan apabila keperluan-keperluan atas dasar-dasar logikanya telah terpenuhi, biasanya dalam mengamalkannyapun akan lebih tulus dan ikhlas olèh sebab tiada lagi banyak tanya dalam benaknya, tinggallah mengamalkannya.

___
Suntingan-1: menautkan LINK Ichsan Nugraha..

Comments